Personal Guarantee, dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan “jaminan pribadi” (selanjutnya disebut sebagai “Personal Guarantor”) atau dalam terminologi belanda disebut juga sebagai “borgtocht”. Personal Guarantee merupakan suatu bentuk jaminan yang bersifat perorangan dimana dalam hal ini terdapat pihak ketiga yang menjamin akan memenuhi kewajiban dari debitur apabila debitur melakukan wanprestasi. Tujuan dari adanya jaminan pribadi adalah untuk memberikan kepastian terhadap pelunasan utang Debitur oleh Personal Guarantor bahwa utang Debitur akan dilunasi.
Dalam sistem hukum Indonesia, Personal Guarantee diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut sebagai “KUHPerdata”) Dalam KUHPerdata, jaminan perorangan (personal guarantee) diatur pada Bab XVII yaitu mengenai perjanjian penanggungan. Pada Pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”
Dari pasal 1820 KUHPerdata tersebut diatas dapat Penulis artikan bahwa penanggungan merupakan sebuah kesepakatan di mana seorang pihak ketiga setuju untuk membayar utang atau memenuhi kewajiban Debitur kepada Kreditur jika Debitur tersebut tidak dapat atau lalai dalam menunaikan kewajibannya kepada Kreditur. Pihak ketiga atau Penanggung melakukan ini untuk melindungi kepentingan kreditur. Dengan kata lain, penanggung menjamin kepada Kreditur bahwa utang atau kewajiban debitur akan dipenuhi apabila debitur gagal melaksanakannya.
Selain itu juga dijelaskan dalam Pasal 1821 KUHPerdata bahwa:
“Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut undang-undang”.
Ketentuan Pasal 1821 KUHPerdata diatas menjelaskan sifat dari perjanjian penanggungan yang merupakan perjanjian tambahan (accesoir) atas perjanjian Pokok. Artinya Penanggung adalah pihak ketiga, yang memberikan Jaminan Pribadi sebagai perjanjian tambahan, untuk keberadaan dan keabsahan Perjanjian Penanggungan bergantung pada perikatan pokok tersebut.
Merujuk kepada Pasal 1831 KUHPerdata dimana didalam pasal tersebut dijelaskan bahwa:
”Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.”
Ketentuan Pasal tersebut memberikan gambaran bahwa secara mendasar kewajiban dari Penanggung untuk melaksanakan prestasi Debitur Utama kepada Kreditur mulai timbul secara bersyarat dengan kondisi dimana Debitur Utama lalai dalam membayar utangnya dan benda milik Debitur Utama harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk pelunasan utang dari Debitur Utama, setelah kedua syarat tersebut terpenuhi, berlaku keadaan baru dimana ketika Debitur Utama lalai membayar utangnya Penanggung lah yang akan membayar utang dari Debitur kepada Kreditur yang artinya Penanggung mempunyai kewajiban sebagai Debitur kepada Kreditur menggantikan Debitur Utama dalam perikatan pokok.
Namun terdapat pengecualian dari syarat yang terdapat pada Pasal 1831 KUHPerdata dimana pengecualian terhadap syarat tersebut diatur dalam Pasal 1832 KUHPerdata yang berisi bahwa:
“Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
- bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
- bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung menanggung, dalam hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
- jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
- jika debitur berada keadaan pailit;
- dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim”
Ketentuan dalam pasal tersebut memberikan kondisi dimana Penanggung tidak dapat menuntut barang milik Debitur untuk disita dan dijual terlebih dahulu berarti Penanggung dalam hal terpenuhi syarat-syarat dimkasud dalam ketentuan Pasal 1832 KUHPerdata ikut secara langsung bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi pelunasan dari utang Debitur, syarat yang tercantum dalam pasal 1832 KUHPerdata tidak bersifat kumulatif maksudnya apabila satu syarat telah terpenuhi Penanggung sudah tidak dapat menuntut supaya barang milik Debitur lebih dulu disita dan dijual untuk pelunasan utangnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut penulis terdapat dua pandangan mengenai kewajiban Personal Guarantor dimana di satu sisi terdapat pandangan yang menganggap Personal Guarantor memiliki kewajban yang sama dengan Debitur Utama. Hal tersebut sejalan dengan Pendapat Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 halaman 208 “Pasal 1831- 1850 KUHPerdata, secara implisit membuka kemungkinan adanya perubahan kedudukan hukum seorang Personal Guarantor menjadi seorang debitur.”. Namun, di sisi lain terdapat pula pendapat yang menganggap Kedudukan dan tanggung jawab Personal Guarantor tidak dapat disamakan dengan Debitur, dimana kedudukan seorang penanggung tetaplah seorang penanggung yang kewajibannya tidak dapat disamakan dengan Debitur hal tersebut diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan No. 922 K/Pdt/1995 tertanggal 31 Oktober 1997 yang menegaskan bahwa “Guarantor always Guarantor”.
Terkait dengan Kepailitan dan PKPU telah diatur khusus di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (selanjutnya disebut sebagai “UUKPKPU”). Di dalam artikel ini penulis akan menjelaskan lebih lanjut terkait dengan proses kepailitan yang terjadi terhadap Personal Guarantor.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UUKPKPU Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dimana syarat kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yaitu Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya dan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU yaitu apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU telah dipenuhi.
Menurut penulis, kewajiban Personal Guarantor sebagai penjamin dapat berubah menjadi memiliki kewajiban yang sama dengan Debitur, hal tersebut dapat terjadi apabila Personal Guarantor dalam perjanjian penanggungan telah melepaskan hak istimewanya atau telah memenuhi salah satu syarat yang diatur dalam pasal 1832 KUHPerdata, Sehingga kedudukan Personal Guarantor dapat dimintakan pertanggung jawabannya yang menyebabkan Penanggung dapat juga dimohonkan untuk dinyatakan pailit apabila terpenuhi syarat kepailitan yang sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU.
Di dalam UUKPKPU tidak terdapat pengaturan khusus mengenai teknis atau tata cara dalam mempailitkan seorang Personal Guarantor. Meskipun demikian, pada prinsipnya seorang Personal Guarantor tetap dapat diajukan pailit sepanjang memenuhi ketentuan umum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU, yang mewajibkan adanya minimal dua Kreditor, dan keberadaan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta utangnya dapat dibuktikan secara sederhana. Ketentuan ini berlaku secara umum, baik untuk Debitur Utama maupun untuk Personal Guarantor, sehingga kreditur dapat mengajukan permohonan pailit atas Personal Guarantor jika syarat-syarat tersebut terpenuhi.
Dalam Praktik, terdapat perbedaan pendapat mengenai kedudukan dan tanggung jawab dari Personal Guarantor di satu sisi, terdapat pandangan yang menganggap Personal Guarantor memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang sama dengan Debitur. Namun, di sisi lain terdapat pula pandangan yang menganggap bahwa kedudukan dan tanggung jawab Personal Guarantor tidak dapat disamakan dengan Debitur, karena Personal Guarantor hanya merupakan seorang penanggung yang menjamin utang dari Debitur.
Selain itu, di dalam praktik terdapat beberapa cara dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Personal Guarantor ada yang diajukan terhadap Personal Guarantor secara bersamaan dengan Debitur Utama dan ada pula yang diajukan secara tersendiri terhadap Personal Guarantor tanpa Debitur Utama. Berikut terdapat beberapa putusan pailit terhadap Personal Guarantor:
I. Putusan Pailit yang dikabulkan terhadap Personal Guarantor yang diajukan pailit bersama dengan Debitur Utama
Putusan Mahkamah Agung Nomor 748K/Pdt.Sus-Pailit/2016
Perkara antara PT PELAYARAN NASIONAL SARANA BAHARI PRIMA (Selanjutnya disebut sebagai “Pemohon Kasasi I”) dan HODDY WIFANIE selanjutnya disebut sebagai “Pemohon Kasasi II”) secara bersama-sama disebut sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit (selanjutnya disebut sebagai “Para Pemohon Kasasi”) melawan PT. TIFA FINANCE TBK. sebagai Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit (selanjutnya disebut sebagai “Termohon Kasasi”).
Dalam Perkara ini Pemohon Kasasi I telah melakukan Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Termohon Kasasi untuk pembiayaan barang modal berupa pembelian kapal motor, kapal kargo beserta dengan mesin-mesinnya. Pembiayaan ini dituangkan dalam lima belas Perjanjian Sewa Guna Usaha. Kemudian Sebagai jaminan kepastian pembayaran, dibuatlah empat belas Perjanjian Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) yang mengikat Pemohon Kasasi II sebagai penjamin dan melepaskan hak istimewanya. Namun, Pemohon Kasasi I lalai memenuhi kewajibannya, sehingga berdasarkan perjanjian Pemohon Kasasi I dan II bertanggung jawab membayar seluruh utang Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi dengan seketika. Oleh karena adanya klausul Cross Collateral/Cross Default, wanprestasi pada satu perjanjian menyebabkan wanprestasi pada semua perjanjian yang lainnya. Bahwa berdasarkan catatan pembukuan Pemohon Pailit, jumlah seluruh tunggakan pembayaran cicilan uang sewa guna usaha dengan denda, bunga, biaya administrasi sampai dengan bulan Agustus 2014 adalah sebesar Rp51.423.728.475. Kemudian dilakukan penjualan barang modal oleh Termohon Kasasi I sebagai upaya mengurangi kewajiban Pemohon Kasasi I setelah itu didapati angka total kewajiban Pemohon Kasasi menjadi Rp. 35.466.139.413.
Bahwa dalam perkara ini Pemohon Kasasi menyampaikan alasan-alasan Kasasinya yang menyatakan bahwa pada intinya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini, melainkan perkara ini merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa Pemohon Kasasi tidak dapat menjalankan usahanya setelah keluarkan/diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor HK.103/2/20/Dtpl-14 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Tidak Diberikan Pelayanan Operasional Kapal tanggal 3 Desember 2014, maka keseluruhan kapal (barang modal) yang telah disewagunausahakan tidak dapat beroperasi sehingga berakibat perusahaan Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit I tidak dapat berusaha sebagaimana mestinya, sehingga Pemohon kasasi dahulu Termohon Pailit I tidak mendapatkan income dari kegiatan pelayaran kapal yang mana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan pokok dari Pemohon Kasasi sehingga hal tersebut menurut Pemohon Pemohon Kasasi dapat dikataklan sebagai Force Majeur.
Bahwa Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Kasasi dari Para Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, dan Judex Factie tidak salah dalam menerapkan hukum . Bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan utang Pemohon Kasasi terhadap Termohon Kasasi dapat dibuktikan secara sederhana bahwa Termohon Kasasi II selaku Penjamin (guarantor) telah melepaskan hak-hak istimewanya dan berlaku jaminan silang (cross collateral) atas beberapa perjanjian hak guna usaha dan terbukti keadaan berhenti membayar/wanprestasi atas kewajiban mencicil yang jatuh tempo dan terdapat lebih dari satu kreditur. Sehingga hakim atas dasar pertimbangan tersebut menolak Kasasi dari Para Pemohon Kasasi.
II. Putusan pailit yang diajukan terhadap Personal Guarantor secara tersendiri tidak bersamaan dengan Debitur .
Putusan Mahkamah Agung Nomor 141 PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
Perkara antara Arifin selaku Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/Termohon Pailit (selanjutnya disebut sebagai “Pemohon PK”) melawan PT Bank Mayapada Internasional, Tbk. Selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kasasi/Pemohon Pailit (selanjutnya disebut sebagai “Termohon PK”). In this case, the Judicial Review Petitioner stands as the Personal Guarantor who has been subjected to bankruptcy by the Judicial Review Respondent at the first-instance trial.
Dalam perkara ini, Pemohon PK memiliki utang kepada Termohon PK hal ini didasari dengan Surat Utang Nomor 20 tanggal 13 November 2013, sebesar Rp10.500.000.000,00 untuk tambahan modal kerja. Selain pinjaman pribadi tersebut, Pemohon PK juga bertindak sebagai penjamin yang telah melepaskan hak istimewanya bagi PT Mitra Usaha Cemerlang melalui Akta Jaminan Pribadi (borgtocht) Nomor 107 tanggal 28 September 2012, dengan jumlah pinjaman hingga Rp200.000.000.000,00. Pinjaman PT Mitra Usaha Cemerlang ini telah disesuaikan beberapa kali, yaitu melalui Akta Persesuaian pada tanggal 29 Oktober 2013 dan 30 Oktober 2014. Saat ini, Pemohon PK dan/atau PT Mitra Usaha Cemerlang belum melunasi biaya provisi dan bunga kredit yang jatuh tempo sebesar Rp12.128.769.799
Pemohon PK dalam alasan peninjauan kembali menyampaikan keberatan yang menyatakan bahwa Judex Facti dan Judex Juris keliru menerapkan hukum, yang mana Pemohon PK mempermasalahkan tentang kedudukannya sebagai penanggung (“borgtocht”) yang langsung diputuskan pailit. Pemohon PK membandingkan, kedudukan personal guarantee seperti yang dijelaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan No. 922 K/Pdt/1995 tertanggal 31 Oktober 1997, yang menolak permohonan pailit atas seorang penanggung, dengan alasan bahwa status penjamin tetap tidak sama dengan debitur utama., yang menegaskan asas “Guarantor always Guarantor” sehingga status hukum sebagai Penanggung (“borgtocht”) tidak dapat dialihkan atau menjadi sama dengan Debitur diluar tuntutan pembayaran hutang, oleh karenanya terhadap Pemohon PK tidak dapat langsung dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Oleh karena itu, Pemohon PK berpendapat bahwa Konsekuensi dari asas ini adalah bahwa penanggung tidak dapat langsung dinyatakan pailit karena wanprestasi debitur utama. Penanggung hanya dapat dituntut untuk melunasi utang debitur, baik bersama-sama maupun secara terpisah.
Namun, Mahkamah Agung menolak alasan peninjauan kembali tersebut karena tidak menemukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris maupun Judex Facti. Dengan amar pertimbangannya yang pada intinya menjelaskan bahwa Pemohon PK sebagai Debitor dan Guarantor/Penjamin Hutang berdasarkan Jaminan Pribadi (borgtocht) Nomor 107 tanggal 28 September 2012 telah melepaskan hak-hak istimewanya sehingga Pemohon Peninjauan Kembali selaku Penjamin adalah bertanggung jawab dengan semua harta kekayaan untuk pelunasan semua kewajiban yang harus dibayar oleh PT Mitra Usaha Cemerlang kepada Termohon Peninjauan Kembali, dengan demikian bila tidak membayar hutang tersebut dapat dinyatakan pailit. Sehingga setelah ditolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali ini oleh Hakim Mahkamah Agung Pemohon PK dinyatakan pailit.
Dari kedua contoh putusan diatas, ternyata terdapat beberapa cara dalam mengajukan pailit terhadap Personal Guarantor baik yang diajukan secara bersamaan dengan Debitur Utama atau diajukan secara tersendiri terhadap Personal Guarantor tanpa Debitur Utama. Namun menurut penulis semuanya kembali lagi kepada pertimbangan hakim untuk menilai apakah syarat-syarat formil yang diajukan oleh kreditur telah terpenuhi dan bukti-bukti yang disampaikan sudah sesuai dengan fakta yang ada.
Menurut penulis, kebebasan hakim dalam memutus perkara adalah prinsip mendasar dalam sistem peradilan Indonesia. Prinsip ini berlaku untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan secara adil, independen, dan objektif. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, memberikan ruang bagi hakim untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan pihak lain. Kemudian, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menegaskan bahwa hakim wajib menggali dan memahami nilai hukum serta rasa keadilan masyarakat. Hal ini diatur pula di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2005 pada bagian kesatu, yang menegaskan bahwa hakim atau majelis hakim yang ditunjuk untuk mengadili suatu perkara harus tetap bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian pembuktian, penerapan hukum, maupun penilaian keadilan. Hakim tidak boleh diperintah atau diberi tekanan dalam bentuk apa pun oleh siapa pun. Dengan demikian, kebebasan ini memungkinkan hakim untuk memutus perkara berdasarkan hati nurani dan tanggung jawabnya dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dikabulkannya permohonan pailit terhadap Personal Guarantor sangat bergantung pada proses pembuktian di pengadilan dan pertimbangan hukum hakim yang independen.
Demikian pembahasan artikel ini, Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut atau ingin mendiskusikan secara mendalam mengenai Kedudukan Hukum Personal Guarantor dalam Kepailitan, tim kami di TRNP Law Firm siap membantu. Silahkan hubungi kami untuk mendapatkan informasi terkini, konsultasi, atau panduan yang relevan dengan kebutuhan Anda.