News & Insights

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PKPU TERHADAP PENANGGUNG YANG MELEPASKAN HAK ISTIMEWANYA

News & Insights

Dalam suatu perjanjian kredit atau perjanjian sejenis lainnya, adalah hal yang umum terdapat perjanjian penanggunan (guarantee) yang bersifat tambahan (accesoir) atas perjanjian pokok tersebut. Perjanjian penanggungan yang demikian itu terjadi dengan kehadiran pihak ketiga sebagai Penanggung (Personal/Corporate Guarantor) atas terlaksananya utang Debitur. Berdasarkan penjelasan tersebut, cukup jelas bahwa Penanggung mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian pokok tertentu untuk melindungi kepentingan Kreditur atas kemungkinan perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Debitur. Pengaturan tentang perjanjian penanggungan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya dapat disebut sebagai “KUHPerdata”) dimulai dari Pasal 1820 hingga Pasal 1850. Perjanjian penanggungan dinormakan dalam Pasal 1820 KUHPerdata sebagai berikut:

“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”

Berdasarkan ketentuan tersebut telah jelas bahwa prinsipnya kewajiban Penanggung untuk memenuhi prestasi Debitur timbul ketika Debitur telah tidak memenuhi prestasinya dalam perjanjian pokok. Kemudian isunya adalah kapan kewajiban Penanggung untuk memenuhi prestasi Debitur tersebut jatuh waktu? Apakah Penanggung serta merta dapat dimintai pertanggungjawaban hukum untuk memenuhi prestasi yang tidak dilaksanakan oleh Debitur tersebut? Pasal 1831 KUHPerdata telah mencoba menjawab persoalan tersebut dengan memberikan perlindungan hukum kepada Penanggung supaya tidak dirugikan kepentingannya dengan potensi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Debitur terhadap pelaksanaan prestasi dalam perjanjian pokok. Berikut penormaan yang terdapat di dalam Pasal 1831 KUHPerdata:

“Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.”

Norma di dalam Pasal 1831 KUHPerdata tersebut menjadi penunjuk yang jelas bahwa pada dasarnya kewajiban Penanggung untuk melaksanakan kewajiban yang dilalaikan oleh Debitur di dalam perjanjian pokok dimulai sejak terjadinya 2 (dua) keadaan berikut:

  1. Debitur telah lalai membayar utangnya; dan
  2. Barang kepunyaan Debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk pelunasan utang Debitur tersebut.

Berlakunya kedua kondisi tersebut diatas bersifat kumulatif dan imperatif, artinya bahwa kewajiban Penanggung tersebut baru akan timbul secara bersyarat apabila kedua kondisi tersebut diatas telah terjadi. Pengaturan demikian menurut penulis memang merupakan pengaturan yang sebagaimana semestinya, karena jika tidak diatur demikian maka akan sangat terbuka luas potensi tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Debitur sehingga dapat merugikan kepentingan Penanggung yang beritikad baik mengikatkan dirinya untuk menjamin pelaksanaan kewajiban Debitur di dalam perikatan pokok tersebut. Meskipun demikian, pengaturan prinsip dasar di dalam norma Pasal 1831 KUHPerdata tersebut juga berpotensi merugikan kepentingan Kreditur jika Penanggung yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian penanggungan tidak beritikad baik dalam bentuk apapun, termasuk apabila ternyata Penanggung juga merupakan afiliasi Debitur yang dengan sengaja telah bekerja sama supaya tidak melaksanakan kewajibannya di dalam perjanjian pokok dan telah direkayasa sejak semula dengan cara apapun sehingga Penanggung secara faktual menjadi tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban yang tidak dilaksanakan Debitur di dalam perjanjian pokok, yang tentunya hal tersebut merugikan kepentingan Kreditur.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, hukum seharusnya juga mengakomodir ketentuan-ketentuan yang dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat merugikan kepentingan kreditur sebagaimana dijelaskan diatas, karena perjanjian penanggungan yang sejatinya dibuat untuk melindungi kepentingan Kreditur di dalam perjanjian pokok tidak dibuat dengan itikad baik oleh Penanggung dan Debitur. Oleh karenanya, hukum telah menentukan bahwa penormaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1831 KUHPerdata tersebut tidak bersifat memaksa (aandvullen recht), sehingga norma tersebut tidak harus diikuti dan dapat disimpangi dengan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian. Terbukanya kemungkinan untuk dapat dilakukannya penyimpangan terhadap waktu berlakunya kewajiban Penanggung atas kelalaian yang dilakukan Debitur dalam perikatan pokok telah diatur dalam Pasal 1832 KUHPerdata. Berikut ketentuan di dalam Pasal 1832 KUHPerdata tersebut:

“Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. Bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;…”

Norma di dalam Pasal 1832 KUHPerdata tersebut secara tegas telah mengatur bahwa prinsip dasar di dalam Pasal 1831 KUHPerdata yang mengharuskan supaya seluruh kebendaan Debitur terlebih dahulu disita sehingga Penanggung dapat dimintakan pertanggungjawaban, dapat disimpangi berdasarkan kesepakatan Penanggung untuk melepaskan hak istimewanya tersebut. Dalam hal demikian, maka kewajiban Penanggung untuk melaksanakan kewajiban Debitur yang lalai melaksanakan kewajibannya dalam perikatan pokok telah dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum sejak Debitur lalai di dalam perjanjian pokok tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, bahwa posisi hukum Penanggung dan Debitur adalah berbeda di mata hukum. Bahkan sekalipun ketika Penanggung yang karena kewajibannya harus mengambil alih kewajiban yang dilalaikan Debitur dalam perjanjian pokok, Penanggung yang telah memenuhi kewajibannya tersebut menjadi memiliki hak untuk menuntut kepada Debitur sebesar kewajiban yang telah dilaksanakan Penanggung berdasarkan perjanjian penanggungan. Hal demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 1839 Ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:

“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.”

Pasal tersebut menegaskan bahwa posisi seorang Penanggung yang telah melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian penanggungan atas kelalaian Debitur di dalam perjanjian pokok tidak serta merta menjadikan Penanggung tersebut berstatus sebagai seorang Debitur. Karena jika seperti itu, maka hukum tidak akan mengakui hak Penanggung untuk menuntut kepada Debitur atas apa yang telah dilakukan Penanggung kepada Kreditur karena kelalaian Debitur, atau yang di dalam praktik dikenal sebagai hak regres. Artinya pelaksanaan kewajiban oleh Penanggung tersebut justru menjadikan Penanggung sebagai Kreditur baru bagi Debitur yang lalai di dalam perjanjian pokok.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dapat disebut sebagai “PKPU”) sebagai salah satu hak hukum yang dapat digunakan oleh Debitur maupun Kreditur supaya Debitur menyusun suatu rencana perdamaian untuk melakukan restrukturisasi secara kolektif kepada para Kreditur kerap kali menjadi solusi paling efektif dan menjadi pilihan para Kreditur di dalam praktik. Namun supaya PKPU dapat dikabulkan maka harus terpenuhi syarat-syarat sebagaimana ketentuan Pasal 222 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dapat disebut sebagai “UU KPKPU”) yang mengatur bahwa permohonan PKPU dapat diajukan dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) Kreditur, dimana terdapat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Lantas bagaimana jika Kreditur bermaksud memohonkan PKPU terhadap Debitur yang telah wanprestasi di dalam perjanjian pokok dan Penanggung di dalam perjanjian penanggungan telah melepaskan hak istimewanya supaya seluruh kebendaan milik Debitur terlebih dahulu disita? Apakah Kreditur dapat sekaligus menarik Penanggung sebagai pihak Termohon di dalam permohonan PKPU tersebut? Berikut pembahasannya.

Terhadap hal tersebut diatas, Pasal 254 UU KPKPU sebenarnya telah memberikan petunjuk dengan norma yang terdapat didalamnya sebagai berikut:

“Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama Debitor dan Penanggung.”

Pasal tersebut tampak seperti mengindikasikan bahwa status PKPU tidak berlaku bagi Penanggung, termasuk Penanggung yang telah melepaskan hak istimewanya. Meskipun demikian, pengaturan didalam Pasal 254 UU KPKPU tidak juga dapat dikatakan telah jelas, apalagi tidak ada penjelasan untuk pasal tersebut, sehingga wajar apabila dalam praktiknya penerapan pasal tersebut masih menyisakan masalah karena masih bersifat multitafsir, sehingga seringkali putusan sehubungan dengan Pasal 254 UU KPKPU tersebut tidak konsisten satu sama lain. Perbedaan tersebut menyebabkan dalam beberapa kasus permohonan yang demikian menjadi dikabulkan oleh majelis hakim dan sebagian lainnya ditolak. Bagi yang menerima permohonan tersebut, umumnya dikarenakan pandangan bahwa kedudukan Penanggung yang telah melepaskan hak istimewanya menjadi setara dengan Debitur utama, argumentasi tersebut sebagaimana diadopsi dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 141/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst. Namun, bagi sebagian lain yang menolak, biasanya mendasarkan pada ketentuan Pasal 254 UU KPKPU, sebagaimana argumentasi tersebut diadopsi dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga.Jkt.Pst.

Meskipun pada prinsipnya Penyusun setuju dengan norma di dalam Pasal 254 UU KPKPU tersebut, namun di sisi lain Penyusun juga dapat memaklumi jika dalam praktiknya sikap pengadilan terkait permohonan PKPU terhadap Penanggung bersama-sama dengan Debitur Utama masih belum konsisten satu sama lain. Hal tersebut dikarenakan seringkali terjadi keadaan-keadaan faktual yang lebih kompleks terkait permasalahan permohonan PKPU terhadap Penanggung bersama-sama degan Debitur Utama, termasuk namun tidak terbatas pada jika Debitur Utama dan Penanggung telah beritikad tidak baik sejak perjanjian dibuat. Permasalahan tersebut sebagian dari permasalahan-permasalahan kompleks dalam praktik Perjanjian Penanggungan.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan hukum faktual seperti tersebut diatas yang seringkali bersifat lebih kompleks daripada norma-norma di dalam hukum yang berlaku, Penulis justru memandang bahwa majelis hakim di dalam memeriksa dan mengadili permasalahan tersebut seharusnya tidak perlu merasa ‘terikat’ dengan ketentuan Pasal 254 UU KPKPU. Hal itu karena dapat membatasi kekuasaan majelis hakim di dalam menerapkan hukum, yang hakikatnya tidak hanya bersumber dari ketentuan Pasal 254 UU KPKPU. Justru apabila penerapan Pasal 254 UU KPKPU ‘dipaksakan’ dalam setiap pemeriksaan permohonan PKPU terhadap Debitur Utama bersama-sama dengan Penanggung, maka Putusan yang dihasilkan berpotensi menjadi tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Oleh karenanya, Pengadilan harus lebih kritis dan memandang dengan lebih cermat kasus per kasus atas Permohonan PKPU terhadap Debitur Utama bersama-sama dengan Penanggung yang telah melepaskan hak istimewanya. Disamping itu, para pemangku kebijakan juga perlu memberikan perhatian sebagai upaya untuk menyudahi isu ketidakjelasan penerapan hukum atas permohonan PKPU terhadap Penanggung bersama-sama dengan Debitur Utama tersebut, setidaknya dengan memperjelas norma terkait permasalahan hukum tersebut dalam revisi UU KPKPU yang prosesnya telah direncanakan sejak beberapa waktu lalu.

Demikian pembahasan pada artikel ini, apabila ada informasi yang perlu didiskusikan mengenai permohonan PKPU terhadap Penanggung yang telah melepaskan hak istimewanya sekaligus bersama dengan Debitur utama, maka anda dapat menghubungi kami di TRNP Law Firm untuk mendapatkan informasi terkait dengan lebih aktual.
We take processes apart, rethink, rebuild, and deliver them back working smarter than ever before.